Our social:

Selasa, 27 Desember 2016

artikel tentang ddi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah. Organisasi merupakan suatu alat atau wadah kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dengan pola tertentu yang perwujudannya memiliki kekayaan baik fisik maupun non fisik . Di Indonesia sendiri banyak sekali jenis organisasi mulai dari organisasi bersifat politik seperti parpol, bahkan ada pula yang bersifat keagamaan seperti NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, Hisbuttahrir, FPI (Fron Pembela Islam), dan khusus di Sulawesi-selatan ada organisasi sosial keagamaan yang cukup besar dan cukup familiar di telinga masyarakat sulawesi-selatan sendiri yaitu DDI (Darud Da’wah Wal Irsyad) yang didirikan oleh K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle bersama dengan ulama-ulama besar Sulawesi-selatan, yang akan menjadi pembahasan makalah penulis ini. B. Rumusan masalah. Berdasarkan dari uraian singkat diatas maka yang akan menjadi garis besar pembahasan makalah penulis ini adalah sebagai berikut : Bagaimana sejarah pendirian dan perjalanan organisasi DDI (Darud Da’wah Wal Irsyad)?   BAB II PEMBAHASAN A. Profil singkat K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Gurutta Ambo Dalle merupakan anak dari pasangan Andi Ngati Daeng Patobo dan Andi Candara Dewi yang dilahirkan sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujungi Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale, Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K. H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat), kemudian beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Al Qur’an pada seorang ulama bernama K. H. Muhammad Ishak. Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Al Qur’an seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, fiqhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar. Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan yaitu sistem duduk bersila, guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika Gurutta K. H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut. Agaknya nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Al Qur’an yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru. Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade’ begitu masyarakat Bugis menyapa beliau menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu. Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya. Anre Gurutta K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang sehat-sehat saja, dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap penyakit tua. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah Gatra tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku- buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain. B. DDI (Darud Da’wah wal Irsyad). Setting Sejarah DDI (Darud Da’wah wal-Irsyad) sebagai organisasi dibentuk pada 1947 di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan, oleh para ulama sunni, tepatnya mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penganut faham Ahlussunah Wal-Jama’ah. Puluhan tahun sebelumnya, para ulama ini secara masing-masing telah memiliki pondok pesantren, atau semacamnya, yang berbasis di desa-desa. Ada dua konteks sejarah yang menjadi rahim lahirnya DDI ketika itu yaitu sebagai berikut : 1. Negara (pemerintah) belum tergerak untuk menghimpun para ulama ke dalam satu wadah, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Karenanya, para ulama berusaha membentuk wadah sendiri berdasarkan aliran keagamaan yang mereka anut. Dalam konteks inilah DDI menjadi tempat berhimpun para ulama untuk membumikan faham Ahlussunnah Wal-Jamaah, dengan bermula di Sulawesi Selatan, dengan arus dari desa ke kota, suatu arus gerak yang sebaliknya dilakukan oleh organisasi keagamaan lainnya. 2. Pada akhir Desember 1946 Belanda berkerjasama dengan golongan federalis membentuk NIT (Negara Indonesia Timur) melalui Konferensi Denpasar, dengan ibukotanya Makassar. Realitas politik yang demikian mendapat resistensi dari golongan unitaris (biasa juga disebut aliran republiken), suatu golongan yang banyak dianut oleh para penguasa lokal (tepatnya para bangsawan) di luar Kota Makassar dan golongan terdidik di Kota Makassar. Kombinasi kedua golongan resistan ini diwujudkan dalam dua bentuk gerakan; a. Gerakan politik melalui institusi formal; yakni Parlemen NIT. b. Gerakan bersenjata melalui kelaskaran yang berbasis di desa-desa. Selain kedua hal diatas cikal bakal lahirnya DDI berawal dari kepopuleran MAI Sengkang (Madrasah Arabiyah Islamiyah) dibawah pimpinan Gurutta K. H. M. As’ad dengan sistem pendidikannya yang sudah cukup modern dengan cepat menarik perhatian dan minat banyak orang salah satunya adalah H. M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso yang pada waktu itu memohon kepada Gurutta K. H. M. As’ad agar kiranya mengizinkan Gurutta K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso. Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anre Gurutta K. H. M. As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle. Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd. Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang. Pada tahun 1947 tepatnya pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari 1947 M sampai hari Jum’at 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947 M, Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan dengan alim ulama sesulawesi-selatan seperti Gurutta K. H. Daud Ismail, Gurutta K. H. Abdu Pabbaja, dan lain-lain yang berlangsung di kota Watangsoppeng yang menghasilkan keputusan untuk membentuk organisasi dengan nama DDI (Darud Da’wah Wal Irsyad) yang bergerak di bidang pendidikan, da’wah, dan sosial kemasyarakatan dan sekaligus mengangkat Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai ketua dan Gurutta K. H. Abdu Pabbaja sebagai sekertaris. Setelah pertemuan tersebut MAI Mangkoso dan seluruh cabang-cabangnya berganti nama menjadi DDI dan Mangkoso menjadi pusat organisasi. Pada tahun 1950 pusat organisasi DDI dipindahkan dari Mangkoso menuju ke Pare-pare dengan alasan Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses, dan Pare-pare dianggap sebagai tempat yang pas karena secara geografis kota Pare-pare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan. Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Setelah pusat organisasi dpindahkan ke Pare-pare manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman. Sama halnya dengan organisasi lain, DDI juga memiliki lambang organisasi sendiri yang tentunya juga memiliki makna. Berikut lambang dan makna dari lambang DDI tersebut : • Warna dasar Hijau Tua melambangkan bahwa ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menjadi panutan Warga DDI • Matahari terbit warna kuning emas dengan sinar sejumlah 25 berkas diatas lintasan pelangi warnah putih yang berisi kalimat tauhid : لااله الله معمد رسول الله melambangkan bahwa matahari sebagai sumber cahaya, cahaya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan ilham dari Allah SWT diturunkan kepada hamba-Nya dengan perantaraan Rasul-Nya dalam bentuk jiwa Tauhid • Bulan sabit warna puti didalamnya terdapat tulisan huruf latin : DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD menengadah keatas, melambangkan bahwa DDI ini senantiasa berjalan diatas garis dan ketentuan wahyu Allah SWT. • Kalimat :له دعوة الحق melambangkan fungsi dan hakekat kehadiran DDI ditengah-tengah masyarakat ; yakni berusaha mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin dengan tujuan menyebarluaskan dan mengajak manusia kejalan yang diridhai Allah SWT. • Kalimat : دار الدعودة والأرشاد dalam bahasa Arab, melambangkan salah satu simbol pandangan DDI bahwa untuk pengusaan ilmu Pengetahuan Agama Islam mutlak adanya penguasaan terhadap Bahasa Arab dan Alat-alatnya. • Kalimat dalam bahasa Indonesia dengan singkatan DDI melambangkan identitas bahwa DDI sebagai organisasi Islam yang termasuk bagian dari rakyat dan bangsa Indonesia bergerak dalam bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial turut bertanggung jawab dalam menjaga keutamaan Negara Republik Indonesia. • Bintang 5 (lima) warna kuning cemerlang sebanyak 5 (lima) buah terletak diufuk sinar cahaya matahari, melambangkan rukun Islam dan Falsafah Negara Pancasila. Sebagai salah satu organisasi sosial kemasyarakatan DDI mendirikan beberapa institusi sosial yang kurang ditangani oleh negara; seperti rumah bersalin, apotik, percetakan, koperasi, dan sebagainya. Sedangkan pada level lembaga pendidikan, DDI juga aktif mendirikan sekolah-sekolah umum, bahkan melakukan feksibilitas kurikulum di pondok-pondok pesantren bahkan kini DDI memiliki beberapa perguruan tinggi salah satunya adalah STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) DDI PINRANG.   BAB III PENUTUP A. Kesimpulan. Berdasarkan dari uraian singkat makalah ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : DDI merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dibidang pendidikan, da’wah, dan sosial kemasyarakatan. DDI didirikan oleh para ulama besar Sulawesi-Selatan dengan Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai ketuanya, dibentuk pada tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947 M dan Mangkoso sebagai pusat Organisasi. Pada tahun 1950 pusat organisasi dipindahkan dari Mangkoso ke Pare-pare karena Pare-pare dianggap tempat yang strategis untuk mengembangkan DDI. B. Saran/Harapan. Sebagai generasi muda DDI, marilah kita mempertahankan dan mengembangkan konsistensi DDI di bumi nusantara bahkan sampai ke kancah percaturan organisasi dunia. Minallahi Musta’an Wa Ilaihi Tiklan DAFTAR PUSTAKA Al Fattah Hatta Muhammad. 20 Oktober 2008. AG H. Abdurrahman Ambo Dalle. My buku kuning Ambo Dalle center, http://guruttaambodalle.blogspot.com/2008/10/agh-abdurrahman-ambo-dalle.html. Diakses tanggal 03 Januari 2012. Darisrajih. 10 April 2008. Panritta yang menembus semua zaman. Daris Rajih, http://mazharulhaqmattugengkeng.wordpress.com/2011/03/03/ambo-dalle-panrita-menembus-semua-zaman/. Diakses tanggal 03 Januari 2012. Latif Abdul. 21 Oktober 20008. Menakar peran DDI ke depan. My buku kuning Gurutta Ambo Dalle center, http://guruttaambodalle.blogspot.com/2008/10/sejarah-kesadaran-sejarah.html. Diakses tanggal 03 Januari 2012. Artikel non-personal. 12 Desember 2009. Isi & makna lambang DDI. Facebook, http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=277860061050&topic=11971. Diakses tanggal 04 Januari 2012. Artikel non-personal. 21 November 2007. Pengertian & definisi organisasi. Carapedia, http://carapedia.com/pengertian_definisi_organisasi_menurut_para_ahli_info484.html. Diakses 03 Januari 2012.

0 komentar:

Posting Komentar