artikel tentang ddi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah.
Organisasi merupakan suatu alat atau wadah kerjasama untuk mencapai
tujuan bersama dengan pola tertentu yang perwujudannya memiliki
kekayaan baik fisik maupun non fisik .
Di Indonesia sendiri banyak sekali jenis organisasi mulai dari
organisasi bersifat politik seperti parpol, bahkan ada pula yang
bersifat keagamaan seperti NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah,
Hisbuttahrir, FPI (Fron Pembela Islam), dan khusus di Sulawesi-selatan
ada organisasi sosial keagamaan yang cukup besar dan cukup familiar di
telinga masyarakat sulawesi-selatan sendiri yaitu DDI (Darud Da’wah Wal
Irsyad) yang didirikan oleh K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle bersama dengan
ulama-ulama besar Sulawesi-selatan, yang akan menjadi pembahasan makalah
penulis ini.
B. Rumusan masalah.
Berdasarkan dari uraian singkat diatas maka yang akan menjadi garis
besar pembahasan makalah penulis ini adalah sebagai berikut :
Bagaimana sejarah pendirian dan perjalanan organisasi DDI (Darud Da’wah
Wal Irsyad)?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil singkat K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Gurutta Ambo Dalle merupakan anak dari pasangan Andi Ngati Daeng Patobo
dan Andi Candara Dewi yang dilahirkan sekitar tahun 1900 M, di Desa
Ujungi Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara
Sengkang.
Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale, Ambo berati bapak dan
Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan
rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama
bernama K. H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah
dapat menghapal Al Qur’an.
Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat),
kemudian beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu
sharaf dan menghapal Al Qur’an pada seorang ulama bernama K. H. Muhammad
Ishak.
Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Al Qur’an seperti tajwid,
qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, fiqhi, tetapi beliau pun mengikuti
kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang
diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.
Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan yaitu
sistem duduk bersila, guru membacakan kitab, murid mendengar dan
menyimak pembicaraan guru. Keberhasilan belajar tergantung pada
kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928,
ketika Gurutta K. H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang
ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke
negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu
sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar
tersebut.
Agaknya nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan
kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Al Qur’an
yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya
sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang
diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang
bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman
daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya
lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru.
Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade’ begitu masyarakat Bugis
menyapa beliau menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta?
Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka,
sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat
ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di
sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika
suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib,
sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab
itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata
Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia
kehidupan Waliyullah di zaman dahulu.
Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak
itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang
artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang
tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab
dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya.
Anre Gurutta K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada
tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah
sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa
ulama besar ini dalam keadaan yang sehat-sehat saja, dan tidak menemukan
penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus
mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap penyakit tua.
Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui
masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman
gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada
Majalah Gatra tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi
ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku- buku yang dikarang
beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq,
Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain.
B. DDI (Darud Da’wah wal Irsyad).
Setting Sejarah DDI (Darud Da’wah wal-Irsyad) sebagai organisasi
dibentuk pada 1947 di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan, oleh para ulama
sunni, tepatnya mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penganut faham
Ahlussunah Wal-Jama’ah. Puluhan tahun sebelumnya, para ulama ini secara
masing-masing telah memiliki pondok pesantren, atau semacamnya, yang
berbasis di desa-desa.
Ada dua konteks sejarah yang menjadi rahim lahirnya DDI ketika itu yaitu
sebagai berikut :
1. Negara (pemerintah) belum tergerak untuk menghimpun para ulama ke
dalam satu wadah, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Karenanya, para ulama berusaha membentuk
wadah sendiri berdasarkan aliran keagamaan yang mereka anut. Dalam
konteks inilah DDI menjadi tempat berhimpun para ulama untuk membumikan
faham Ahlussunnah Wal-Jamaah, dengan bermula di Sulawesi Selatan, dengan
arus dari desa ke kota, suatu arus gerak yang sebaliknya dilakukan oleh
organisasi keagamaan lainnya.
2. Pada akhir Desember 1946 Belanda berkerjasama dengan golongan
federalis membentuk NIT (Negara Indonesia Timur) melalui Konferensi
Denpasar, dengan ibukotanya Makassar. Realitas politik yang demikian
mendapat resistensi dari golongan unitaris (biasa juga disebut aliran
republiken), suatu golongan yang banyak dianut oleh para penguasa lokal
(tepatnya para bangsawan) di luar Kota Makassar dan golongan terdidik di
Kota Makassar. Kombinasi kedua golongan resistan ini diwujudkan dalam
dua bentuk gerakan;
a. Gerakan politik melalui institusi formal; yakni Parlemen NIT.
b. Gerakan bersenjata melalui kelaskaran yang berbasis di desa-desa.
Selain kedua hal diatas cikal bakal lahirnya DDI berawal dari
kepopuleran MAI Sengkang (Madrasah Arabiyah Islamiyah) dibawah pimpinan
Gurutta K. H. M. As’ad dengan sistem pendidikannya yang sudah cukup
modern dengan cepat menarik perhatian dan minat banyak orang salah
satunya adalah H. M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja
yang berkedudukan di Mangkoso yang pada waktu itu memohon kepada Gurutta
K. H. M. As’ad agar kiranya mengizinkan Gurutta K. H. Abd. Rahman Ambo
Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.
Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anre Gurutta K. H. M. As’ad tidak
menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah
yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas
madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya
keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja
itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.
Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Gurutta K. H.
Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang
mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan
cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan
sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak
momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI.
Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti
dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah
untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar
Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka
madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan
tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup
mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa
setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H.
Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang
beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah :
Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd.
Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin,
Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad
Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai,
Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian
Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd. Rahman Mattammeng, dan Gurutta M.
Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI)
Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang.
Pada tahun 1947 tepatnya pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5
Februari 1947 M sampai hari Jum’at 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari
1947 M, Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan dengan
alim ulama sesulawesi-selatan seperti Gurutta K. H. Daud Ismail, Gurutta
K. H. Abdu Pabbaja, dan lain-lain yang berlangsung di kota
Watangsoppeng yang menghasilkan keputusan untuk membentuk organisasi
dengan nama DDI (Darud Da’wah Wal Irsyad) yang bergerak di bidang
pendidikan, da’wah, dan sosial kemasyarakatan dan sekaligus mengangkat
Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai ketua dan Gurutta K. H.
Abdu Pabbaja sebagai sekertaris. Setelah pertemuan tersebut MAI Mangkoso
dan seluruh cabang-cabangnya berganti nama menjadi DDI dan Mangkoso
menjadi pusat organisasi.
Pada tahun 1950 pusat organisasi DDI dipindahkan dari Mangkoso menuju ke
Pare-pare dengan alasan Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat
untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat
organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan
organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang
lebih representatif dan lebih mudah diakses, dan Pare-pare dianggap
sebagai tempat yang pas karena secara geografis kota Pare-pare amat
strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan.
Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat
dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari
manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah
pengabdiannya.
Setelah pusat organisasi dpindahkan ke Pare-pare manajemen organisasi
DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi
tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom
didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di
bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI),
untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat),
bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan
madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan
kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman.
Sama halnya dengan organisasi lain, DDI juga memiliki lambang organisasi
sendiri yang tentunya juga memiliki makna. Berikut lambang dan makna
dari lambang DDI tersebut :
• Warna dasar Hijau Tua melambangkan bahwa ajaran Islam yang berhaluan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menjadi panutan Warga DDI
• Matahari terbit warna kuning emas dengan sinar sejumlah 25 berkas
diatas lintasan pelangi warnah putih yang berisi kalimat tauhid :
لااله الله معمد رسول الله melambangkan bahwa matahari sebagai sumber
cahaya, cahaya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan ilham dari Allah SWT
diturunkan kepada hamba-Nya dengan perantaraan Rasul-Nya dalam bentuk
jiwa Tauhid
• Bulan sabit warna puti didalamnya terdapat tulisan huruf latin : DARUD
DA’WAH WAL-IRSYAD menengadah keatas, melambangkan bahwa DDI ini
senantiasa berjalan diatas garis dan ketentuan wahyu Allah SWT.
• Kalimat :له دعوة الحق melambangkan fungsi dan hakekat kehadiran DDI
ditengah-tengah masyarakat ; yakni berusaha mendalami ajaran Islam dan
ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin dengan tujuan menyebarluaskan
dan mengajak manusia kejalan yang diridhai Allah SWT.
• Kalimat : دار الدعودة والأرشاد dalam bahasa Arab, melambangkan salah
satu simbol pandangan DDI bahwa untuk pengusaan ilmu Pengetahuan Agama
Islam mutlak adanya penguasaan terhadap Bahasa Arab dan Alat-alatnya.
• Kalimat dalam bahasa Indonesia dengan singkatan DDI melambangkan
identitas bahwa DDI sebagai organisasi Islam yang termasuk bagian dari
rakyat dan bangsa Indonesia bergerak dalam bidang Pendidikan, Dakwah dan
Sosial turut bertanggung jawab dalam menjaga keutamaan Negara Republik
Indonesia.
• Bintang 5 (lima) warna kuning cemerlang sebanyak 5 (lima) buah
terletak diufuk sinar cahaya matahari, melambangkan rukun Islam dan
Falsafah Negara Pancasila.
Sebagai salah satu organisasi sosial kemasyarakatan DDI mendirikan
beberapa institusi sosial yang kurang ditangani oleh negara; seperti
rumah bersalin, apotik, percetakan, koperasi, dan sebagainya. Sedangkan
pada level lembaga pendidikan, DDI juga aktif mendirikan sekolah-sekolah
umum, bahkan melakukan feksibilitas kurikulum di pondok-pondok
pesantren bahkan kini DDI memiliki beberapa perguruan tinggi salah
satunya adalah STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) DDI PINRANG.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan dari uraian singkat makalah ini maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
DDI merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dibidang pendidikan,
da’wah, dan sosial kemasyarakatan. DDI didirikan oleh para ulama besar
Sulawesi-Selatan dengan Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai
ketuanya, dibentuk pada tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947 M
dan Mangkoso sebagai pusat Organisasi. Pada tahun 1950 pusat organisasi
dipindahkan dari Mangkoso ke Pare-pare karena Pare-pare dianggap tempat
yang strategis untuk mengembangkan DDI.
B. Saran/Harapan.
Sebagai generasi muda DDI, marilah kita mempertahankan dan mengembangkan
konsistensi DDI di bumi nusantara bahkan sampai ke kancah percaturan
organisasi dunia.
Minallahi Musta’an Wa Ilaihi Tiklan
DAFTAR PUSTAKA
Al Fattah Hatta Muhammad. 20 Oktober 2008. AG H. Abdurrahman Ambo Dalle.
My buku kuning Ambo Dalle center,
http://guruttaambodalle.blogspot.com/2008/10/agh-abdurrahman-ambo-dalle.html.
Diakses tanggal 03 Januari 2012.
Darisrajih. 10 April 2008. Panritta yang menembus semua zaman. Daris
Rajih,
http://mazharulhaqmattugengkeng.wordpress.com/2011/03/03/ambo-dalle-panrita-menembus-semua-zaman/.
Diakses tanggal 03 Januari 2012.
Latif Abdul. 21 Oktober 20008. Menakar peran DDI ke depan. My buku
kuning Gurutta Ambo Dalle center,
http://guruttaambodalle.blogspot.com/2008/10/sejarah-kesadaran-sejarah.html.
Diakses tanggal 03 Januari 2012.
Artikel non-personal. 12 Desember 2009. Isi & makna lambang DDI.
Facebook,
http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=277860061050&topic=11971.
Diakses tanggal 04 Januari 2012.
Artikel non-personal. 21 November 2007. Pengertian & definisi
organisasi. Carapedia,
http://carapedia.com/pengertian_definisi_organisasi_menurut_para_ahli_info484.html.
Diakses 03 Januari 2012.
0 komentar:
Posting Komentar