Sistem Demokrasi Terpimpin
Pengertian Demokrasi Terpimpin
adalah suatu sistem pemerintahan yang keputusan dan kebijakannya
dijalankan dengan berpusat pada kekuasaan yang berada pada satu orang
(Pemimpin Negara). Ciri ciri demokrasi terpimpin ini
yaitu pada peningkatan otokrasi. Otokrasi merupakan suatu bentuk
pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang penuh oleh satu orang.
Dalam demokrasi terpimpin, rakyat dicegah untuk memiliki dampak yang
signifikan terhadap kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui
pengefektifan teknik kinerja humas yang berkelanjutan.
Latar belakang lahirnya sistem demokrasi terpimpin yang diperkenalkan oleh Presiden Soekarno, yaitu :
1. Dari segi keamanan nasional
: Banyaknya gerakan separatis (orang atau golongan yang menghendaki
pemisahan diri dari suatu persatuan) pada masa demokrasi liberal yang
menyebabkan ketidakstabilan dalam negara.
2. Dari segi perekonomian
: Pergantian kabinet yang sering terjadi pada masa demokrasi liberal
menyebabkan program program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat
dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi pada masa itu
tersendat.
3. Dari segi politik : Gagalnya Konstituante di dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS Tahun 1950.
Sistem demokrasi terpimpin ini diperkenalkan pertama kali oleh Presiden Soekarno
pada saat upacara peringatan hari Proklamasi 17 Agustus Tahun 1959.
Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupakan penjelasan
dan pertanggungjawaban Presiden atas Dekrit 5 Juli 1959 serta garis
kebijakan dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
DPA
(Dewan Pertimbangan Agung) dalam sidangnya pada bulan September 1959,
mengusulkan kepada pemerintah agar pidato dari Presiden Soekarno pada
tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”
tersebut, dijadikan sebagai GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara). Usul
dair DPA tersebut diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan dari
DPA atas pidato tersebut dijadikan sebagai GBHN yang berjudul “Manifesto
Politik Republik Indonesia (Manipol)”. Dengan (Penpres) Penetapan
Presiden No 2 Tahun 1959, maka dibentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan
Sementara) pada tanggal 31 Desember 1959, yang anggota-anggotanya
ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan beberapa persyaratan sebagai
berikut :
1. Setuju kembali kepada UUD 1945,
2. Setia kepada perjuangan RI, dan
3. Setuju dengan Manifesto Politik.
Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR
terdiri atas anggota anggota DPR ditambah dengan utusan utusan dari
daerah dan wakil wakil golongan. Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 12
Tahun 1959 yang terdiri atas 261 orang anggota DPR, 94 orang utusan
daerah dan wakil golongan karya sebanyak 200 orang. Dalam Penetapan
Presiden itu disebutkan juga bahwa tugas MPRS yaitu untuk menetapkan
GBHN. Jika dibandingkan dengan tugas MPRS, menurut Penetapan Presiden
dengan tugas dan wewenang MPR menurut Pasal 1 angka 2, Pasal 2 angka 2,
Pasal 6 angka 2 dan Pasal 3 UUD 1945, hanya pasal 2 UUD 1945 yang
menjadi tugas MPRS menurut Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959, yaitu
menetapkan GBHN.
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) hasil
dari pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No.
7 Tahun 1953, tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945
dengan syarat menyetujui segala perombakan yang dilakukan oleh
pemerintah sampai tersusun DPR baru. Penetapan mengenai DPR baru
dikeluarkan oleh PResiden pada tanggal 22 Juli 1959 melalui Penetapan
Presiden No. 1 Tahun 1959.
Semula tampaknya anggota DPR lama akan
mengikuti saja kebijakan Presiden Soekarno, akan tetapi ternyata mereka
menolak rencana anggaran belanja negara tahun 1960 yang diajukan oleh
pemerintah. Penolakan Rencana Anggaran Belanja Negara tersebut
menyebabkan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, yang
menyatakan pembubaran DPR hasil pemilihan umum tahun 1955. Tindakan itu
disusul dengan pembentukan DPR baru. Pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden
Soekarno selesai menyusun komposisi DPR baru yang diberi nama Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). “Penggodogan” komposisi itu
dilakukan di Istana Tampaksiring, Bali, dengan mengundang para ketua
tiga partai besar, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdlatul
Ulama) dan PKI (Partai Komunis Islam) serta kolonel Wiluyo Puspoyudo
yang mewakili TNI AD. Para anggota DPR GR yang baru itu dilantik pada
tanggal 25 Juni 1960.
Komposisi DPR GR, jumlah wakil
gologongan Nasionalis, Islam dan Komunis yaitu 44, 43 dan 30. Jumlah itu
berubah jika ikut dihitung anggota yang resminya tidak mewakili partai
politik. Perimbangan suara golongan Nasionalis, Islam dan Komunis yaitu
44 + 50 = 94, 43 + 24 = 67, dan 30 + 51 = 81. Padahal dalam DPR hasil
pemilihan umum tahun 1959 perbandingan kursi untuk Nasionalis : Islam :
Komunis yaitu 65 : 115 : 42. Dengan demikian setelah pembubaran DPR lama
dan pembentuan DPR GR, partai partai Nasionalis dan PKI memperoleh
keuntungan masing masing : 94 – 64 kursi = 25 kursi dan 82 – 42 -39
kursi. Sementara itu, partai partai islam mengalami kerugian 115 – 67 =
48 kursi. Dari sini dapat kita lihar bahwa PKI lah yang memperoleh
keuntungan terbesar dari kebijakan Presiden Soekarno tersebut.
DPR GR yang seluruh anggotanya
ditunjuk oleh Presiden Soekarno itu, peraturan peraturan tata tertibnya
juga ditetapkan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden No. 24 Tahun
1960, dan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 1964. Pidato Presiden Soekarno
pada upacara pelantikan DPR GR tanggal 25 Juni 1960 menyebutkan bahwa
tugas DPR GR yaitu untuk melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat
Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Dalam upacara
pelantikan wakil wakil ketua DPR GR pada tanggal 5 Januari 1961,
Presiden Soekarno menjelaskan lagi kedudukan DPR GR, yaitu bahwa DPR GR
adalah pembantu Presiden atau Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan
tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan
oleh MPRS.
Terhadap perkembangan politik itu
pernah ada reaksi dari kalangan partai partai, antara lain dari beberapa
pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan PNI. Beberapa tokoh NU pernah
menyatakan keberatannya terhadap pembubaran DPR hasil pemilihan umum
tahun 1955 dan mengancam akan menarik pencalonan angota anggotanya untuk
DPR GR. Akan tetapi, karena adanya penambahan jumlah kursi untuk NU,
sikap mereka berubah, dan mereka memberi kesempatan kepada Presiden
Soekarno untuk meneruskan kebijakan politiknya. Namun, Ro’is Aam, K.H.
Wahab Chasbullah, menyatakan bahwa NU tidak dapat duduk dengan PKI dalam
satu kabinet, dan NU sesungguhnya menolak kabinet Nasakom
(Nasionalisme, Agama dan Komunisme) dan menolak kerja sama dengan PKI.
Tindakan Presiden Soekarno selanjutnya
dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin yaitu dengan mendirikan lembaga
lembaga negara baru Front Nasional, yang dibentuk melalui Penetapan
Presiden No. 13 Tahun 1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front
Nasional yaitu suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita cita
Proklamasi dan cita cita yag terkandung di dalam UUD 1945. Front
Nasional itu dketuai oleh Presiden Soekarno sendiri.
Dalam regrouping pertama kabinet yang
berdasarkan Keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962, dilakukan
pengintegrasian lembaga-lembaga tertinggi negara dengan eksekutif. MPRS,
DPR GR, DPA, Mahkamah Agung dan Dewan Perancangan Nasional (Depernas)
dipimpin langsung oleh Presiden. Dengan pengintegrasian ini, pimpinan
lembaga lembaga negara tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta
di dalam sidang sidang kabinet tertentu, yang selanjutnya ikut
merumuskan dan mengamankan policy (Kebijakan) pemerintah di dalam
lembaga masing masing.
Selain lembaga lembaga tersebut,
Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR)
dengan berdasarkan pada Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1962, MPRS
beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR)
di dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan
revolusi. Keanggotaan MPPR keloyalan PKI, baik itu atas pertimbangan
ideologis maupun atas pengalaman masa lampau. Namun, Presiden Soekarno
tetap pada kebijakannya melarang Peperda mengambil tindakan politis
terhadap PKI.
Kebijakan Presiden Soekarno
mengganyang komunis dimanfaatkan oleh PKI, sehingga PKI semakin
meningkatkan apa yang kemudian disebutnya “ofensif revilusioner”, dengan
tema fobi, “anti-Nasokom adalah anti-Pancasila dan Kontrarevolusioner”,
“PKI adalah yang paling progresif revolusioner”, dan lain sebagainya.
Pidato pidato Presiden Soekarno pada
setiap peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, sejak
1960 sampai 1965, yang bertema “Revolusi Belum Selesai”, yang Laksana
Malaikat Menyerbu dari Langit Jalannya Revolusi Kita, Revolusi,
Sosialisme Indonesia, Pimpinan Nasional, Tahun Kemenangan, Genta Suara
Revolusi Indonesia, Tahun Vivere Peri Coloso dan Capailah Bintang
Bintang di Langit, jelas menggambarkan sikap politik Presiden Soekarno
yang cenderung merangsang PKI untuk menyudutkan lawan lawan politiknya,
terutama TNI AD yang dianggap sebagai pesaing utamanya.
Pada akhir tahun 1964, pimpinan Partai
Murba menemukan dokumen rahasia PKI, yang diberi nama “Resume Program
dan Kegiatan PKI Dewasa Ini”. Dokumen ini menyebutkan bahwa PKI akan
melancarkan perebutan kekuasaan. Aidit menyangkal dengan berbagai cara
dan mengatakan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen palsu. Peristiwa
dokumen rahasia ini menjadi isu politik besar pada akhir tahun 1964,
kemudian dokumen tersebut dibicarakan oleh pimpinan partai partai
politik di bawah pimpinan Presiden Soekarno di Istana Bogor pada tanggal
12 Desember 1964. Presiden Soekarno memerintahkan menyusun rumusan
untuk menyelesaikan persengketaan antara partai. Pada 12 Desember 1964,
sepuluh partai politik menandatangani sebuah deklarasi yang disebut
Deklarasi Bogor, yang dianggap sebagai cetusan kebulatan tekad partai
partai dihadapan Pemimpin Besar Revolusi. Pokok isi deklarasi adalah
“bahwa dalam suasana konfrontasi terhadap Malaysia sebagai proyek
Nekolim (Neokolonialisme-Imperialisme), maka setiap sengketa di antara
unsur unsur di dalam negeri, supaya diselesaikan secara musyawarah.
Berkat sikap Presiden Soekarno, musyawarah Bogor berakhir dengan baik
bagi PKI.
Sekian dari saya mengenai pengertian
demokrasi terpimpin, sistem demokrasi terpimpin dan sejarah demokrasi
terpimpin, semoga tulisan saya mengenai pengertian demokrasi terpimpin,
sistem demokrasi terpimpin dan sejarah demokrasi terpimpin dapat
bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar