Our social:

Sabtu, 24 Desember 2016

Sistem Demokrasi Terpimpin

Pengertian Demokrasi Terpimpin adalah suatu sistem pemerintahan yang keputusan dan kebijakannya dijalankan dengan berpusat pada kekuasaan yang berada pada satu orang (Pemimpin Negara). Ciri ciri demokrasi terpimpin ini yaitu pada peningkatan otokrasi. Otokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang penuh oleh satu orang. Dalam demokrasi terpimpin, rakyat dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang berkelanjutan.
 
Latar belakang lahirnya sistem demokrasi terpimpin yang diperkenalkan oleh Presiden Soekarno, yaitu :
1. Dari segi keamanan nasional : Banyaknya gerakan separatis (orang atau golongan yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan) pada masa demokrasi liberal yang menyebabkan ketidakstabilan dalam negara.
2. Dari segi perekonomian : Pergantian kabinet yang sering terjadi pada masa demokrasi liberal menyebabkan program program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi pada masa itu tersendat.
3. Dari segi politik : Gagalnya Konstituante di dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS Tahun 1950.
 
Sistem demokrasi terpimpin ini diperkenalkan pertama kali oleh Presiden Soekarno pada saat upacara peringatan hari Proklamasi 17 Agustus Tahun 1959. Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden atas Dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
 
DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dalam sidangnya pada bulan September 1959, mengusulkan kepada pemerintah agar pidato dari Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” tersebut, dijadikan sebagai GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara). Usul dair DPA tersebut diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan dari DPA atas pidato tersebut dijadikan sebagai GBHN yang berjudul “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)”. Dengan (Penpres) Penetapan Presiden No 2 Tahun 1959, maka dibentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan Sementara) pada tanggal 31 Desember 1959, yang anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Setuju kembali kepada UUD 1945,
2. Setia kepada perjuangan RI, dan
3. Setuju dengan Manifesto Politik.
 
Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota anggota DPR ditambah dengan utusan utusan dari daerah dan wakil wakil golongan. Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 12 Tahun 1959 yang terdiri atas 261 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah dan wakil golongan karya sebanyak 200 orang. Dalam Penetapan Presiden itu disebutkan juga bahwa tugas MPRS yaitu untuk menetapkan GBHN. Jika dibandingkan dengan tugas MPRS, menurut Penetapan Presiden dengan tugas dan wewenang MPR menurut Pasal 1 angka 2, Pasal 2 angka 2, Pasal 6 angka 2 dan Pasal 3 UUD 1945, hanya pasal 2 UUD 1945 yang menjadi tugas MPRS menurut Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959, yaitu menetapkan GBHN.
 
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) hasil dari pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953, tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dengan syarat menyetujui segala perombakan yang dilakukan oleh pemerintah sampai tersusun DPR baru. Penetapan mengenai DPR baru dikeluarkan oleh PResiden pada tanggal 22 Juli 1959 melalui Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1959.
 
Semula tampaknya anggota DPR lama akan mengikuti saja kebijakan Presiden Soekarno, akan tetapi ternyata mereka menolak rencana anggaran belanja negara tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Penolakan Rencana Anggaran Belanja Negara tersebut menyebabkan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, yang menyatakan pembubaran DPR hasil pemilihan umum tahun 1955. Tindakan itu disusul dengan pembentukan DPR baru. Pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Soekarno selesai menyusun komposisi DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). “Penggodogan” komposisi itu dilakukan di Istana Tampaksiring, Bali, dengan mengundang para ketua tiga partai besar, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama) dan PKI (Partai Komunis Islam) serta kolonel Wiluyo Puspoyudo yang mewakili TNI AD. Para anggota DPR GR yang baru itu dilantik pada tanggal 25 Juni 1960.
 
Komposisi DPR GR, jumlah wakil gologongan Nasionalis, Islam dan Komunis yaitu 44, 43 dan 30. Jumlah itu berubah jika ikut dihitung anggota yang resminya tidak mewakili partai politik. Perimbangan suara golongan Nasionalis, Islam dan Komunis yaitu 44 + 50 = 94, 43 + 24 = 67, dan 30 + 51 = 81. Padahal dalam DPR hasil pemilihan umum tahun 1959 perbandingan kursi untuk Nasionalis : Islam : Komunis yaitu 65 : 115 : 42. Dengan demikian setelah pembubaran DPR lama dan pembentuan DPR GR, partai partai Nasionalis dan PKI memperoleh keuntungan masing masing : 94 – 64 kursi = 25 kursi dan 82 – 42 -39 kursi. Sementara itu, partai partai islam mengalami kerugian 115 – 67 = 48 kursi. Dari sini dapat kita lihar bahwa PKI lah yang memperoleh keuntungan terbesar dari kebijakan Presiden Soekarno tersebut.
 
DPR GR yang seluruh anggotanya ditunjuk oleh Presiden Soekarno itu, peraturan peraturan tata tertibnya juga ditetapkan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden No. 24 Tahun 1960, dan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 1964. Pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR GR tanggal 25 Juni 1960 menyebutkan bahwa tugas DPR GR yaitu untuk melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Dalam upacara pelantikan wakil wakil ketua DPR GR pada tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan lagi kedudukan DPR GR, yaitu bahwa DPR GR adalah pembantu Presiden atau Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS.
 
Terhadap perkembangan politik itu pernah ada reaksi dari kalangan partai partai, antara lain dari beberapa pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan PNI. Beberapa tokoh NU pernah menyatakan keberatannya terhadap pembubaran DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 dan mengancam akan menarik pencalonan angota anggotanya untuk DPR GR. Akan tetapi, karena adanya penambahan jumlah kursi untuk NU, sikap mereka berubah, dan mereka memberi kesempatan kepada Presiden Soekarno untuk meneruskan kebijakan politiknya. Namun, Ro’is Aam, K.H. Wahab Chasbullah, menyatakan bahwa NU tidak dapat duduk dengan PKI dalam satu kabinet, dan NU sesungguhnya menolak kabinet Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) dan menolak kerja sama dengan PKI.
 
Tindakan Presiden Soekarno selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin yaitu dengan mendirikan lembaga lembaga negara baru Front Nasional, yang dibentuk melalui Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front Nasional yaitu suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita cita Proklamasi dan cita cita yag terkandung di dalam UUD 1945. Front Nasional itu dketuai oleh Presiden Soekarno sendiri.
 
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962, dilakukan pengintegrasian lembaga-lembaga tertinggi negara dengan eksekutif. MPRS, DPR GR, DPA, Mahkamah Agung dan Dewan Perancangan Nasional (Depernas) dipimpin langsung oleh Presiden. Dengan pengintegrasian ini, pimpinan lembaga lembaga negara tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta di dalam sidang sidang kabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan policy (Kebijakan) pemerintah di dalam lembaga masing masing.
 
Selain lembaga lembaga tersebut, Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) dengan berdasarkan pada Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1962, MPRS beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) di dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR keloyalan PKI, baik itu atas pertimbangan ideologis maupun atas pengalaman masa lampau. Namun, Presiden Soekarno tetap pada kebijakannya melarang Peperda mengambil tindakan politis terhadap PKI.
 
Kebijakan Presiden Soekarno mengganyang komunis dimanfaatkan oleh PKI, sehingga PKI semakin meningkatkan apa yang kemudian disebutnya “ofensif revilusioner”, dengan tema fobi, “anti-Nasokom adalah anti-Pancasila dan Kontrarevolusioner”, “PKI adalah yang paling progresif revolusioner”, dan lain sebagainya.
 
Pidato pidato Presiden Soekarno pada setiap peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, sejak 1960 sampai 1965, yang bertema “Revolusi Belum Selesai”, yang Laksana Malaikat Menyerbu dari Langit Jalannya Revolusi Kita, Revolusi, Sosialisme Indonesia, Pimpinan Nasional, Tahun Kemenangan, Genta Suara Revolusi Indonesia, Tahun Vivere Peri Coloso dan Capailah Bintang Bintang di Langit, jelas menggambarkan sikap politik Presiden Soekarno yang cenderung merangsang PKI untuk menyudutkan lawan lawan politiknya, terutama TNI AD yang dianggap sebagai pesaing utamanya.
 
Pada akhir tahun 1964, pimpinan Partai Murba menemukan dokumen rahasia PKI, yang diberi nama “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini”. Dokumen ini menyebutkan bahwa PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan. Aidit menyangkal dengan berbagai cara dan mengatakan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen palsu. Peristiwa dokumen rahasia ini menjadi isu politik besar pada akhir tahun 1964, kemudian dokumen tersebut dibicarakan oleh pimpinan partai partai politik di bawah pimpinan Presiden Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 12 Desember 1964. Presiden Soekarno memerintahkan menyusun rumusan untuk menyelesaikan persengketaan antara partai. Pada 12 Desember 1964, sepuluh partai politik menandatangani sebuah deklarasi yang disebut Deklarasi Bogor, yang dianggap sebagai cetusan kebulatan tekad partai partai dihadapan Pemimpin Besar Revolusi. Pokok isi deklarasi adalah “bahwa dalam suasana konfrontasi terhadap Malaysia sebagai proyek Nekolim (Neokolonialisme-Imperialisme), maka setiap sengketa di antara unsur unsur di dalam negeri, supaya diselesaikan secara musyawarah. Berkat sikap Presiden Soekarno, musyawarah Bogor berakhir dengan baik bagi PKI.
 
Sekian dari saya mengenai pengertian demokrasi terpimpin, sistem demokrasi terpimpin dan sejarah demokrasi terpimpin, semoga tulisan saya mengenai pengertian demokrasi terpimpin, sistem demokrasi terpimpin dan sejarah demokrasi terpimpin dapat bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar