Our social:

Senin, 09 Januari 2017

Sejarah Perkembangan Kapitalisme Kuno

A.       PENDAHULUAN
Kapitalisme sebenarnya bukanlah hal yang baru untuk untuk di perbincangkan, tetapi melihat pengaruhnya yang masih begitu kuat terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dunia umumnya dan Indonesia khususnya  membuat kapitalisme tak pernah berhenti untuk diperbincangkan. Oleh karena itu tiada salah bila kita sekali lagi mengenal sedikit tentang kapitalisme dan sejarah perkembangannya. Kapitalisme jika dilihat dari segi etimologi yaitu berasal dari dua kata “Capital (modal) dan Isme (paham atau cara pandang). Namun jika kita telusuri makna dari kapitalisme sendiri yait berasal dari bahasa latin caput yang berarti “kepala”. Arti ini menjadi jelas, misalnya dalam istilah “pendapatan per kapita” atau pendapatan per kepala. Apa hubungannya dengan “capital” yang lain yang sering kita terjemahkan sebagai “modal”? Konon kekayaan penduduk Romawi kuno diukur oleh berapa kepala hewan ternak yang ia miliki.[3] Semakin banyak caput-nya, semakin sejahtera. Tidak mengherankan, jika kemudian mereka “mengumpulkan” sebanyak-banyaknya caput. Sekarang jelas sudah, mengapa kita menterjemahkan capital sebagai “modal”. Sementara” Isme” sendiri mengacu kepada paham, “ideologi” cara pandang atau cara hidup yang diterima oleh sekelompok luas masyarakat dan karenanya menjadi konvensi, karea dapat saja ditolak oleh kelompok masyarakat yang lainnya, sehingga kapitalisme adalah modal –isme atau paham yang berdasarkan modal (pemilik modal).

Kapitalisme merupakan sistem perekonomian yang menekankan peran Capital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sepertihalnya Ebenstein, menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek, memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi. Menurut Ayn Rand, kapitalisme adalah “a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned”. (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat). Heilbroner, secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah “formasi sosial” yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).
Keadaan kemudian berubah ketika gelombang industrialisasi melanda negara-negara Eropa Barat. Di dalam masyarakat tradisional tersebut terjadi perubahan, dimana sistem ekonomi bersekala kecil mulai diguncang oleh adanya industrialisasi sebagai sistem ekonomi bersekala besar. Sebenarnya industrialisasi itu muncul karena pengaruh zaman Renaissance yang melanda Eropa pada abad ke-15 hingga abad 19, yaitu pada masa perkembangan perbankkan komersial di eropa ada zaman dahulu.[4] Dimana sekelompok individu maupun kelompok luas dapat bertindak sebagai badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan  perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal menjadi barang jadi. Untuk mendapatkan modal-moda tersebut maka para kapitalis tersebut harus mendapatkan bahan baku dan mesin terlebih dahulu. Baru setelah itu buruh menjadi operator atau tenaga produktif agar para kapitalis bisa mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
B.       SEJARAH PERKEMBANGAN KAPITALISME
1.     Kapitalisme Awal
Ø  Merkantilisme
Kapitalisme mempunyai sejarah panjang yang mana sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Kapitalisme merupakan cara pandang dalam menjalani kegiatan ekonominya. Hal tersebut bisa dilihat pada Merkantilisme berkembang pada abat ke-15 sampai abad 18, dan berasal dari kata merchand yang artinya pedagang. Walaupun para ahli masih meragukan apakah merkantilisme benar merupan suatu aliran/madzhab atau bukan, namun aliran ini memiliki dampak yang besar dalam perkembangan teori ekonomi. Aliran ini timbul pada masa ketika perdagangan antar negara semakin berkembang pesat. Kalau di masa sebelumnya masyarakat dapat mencukupi kebutuhannya dengan dengan memproduksi sendiri, pada masa merkantilisme ini berkembang paham bahwa jika sebuah negara hendak maju, maka negara tersebut harus melakukan perdagangan dengan negara lain, surplus perdagangan berupa emas dan perak yang diterima merupakan sumber kekayaan negara.[5]
Dalam bukunya yang berjudul “England Treasure by Foreign Trade”  Thomas Mun menulis tentang manfaat perdagangan luar negeri. Ia menjelaskan bahwaperdagangan luar negeri akan memperkaya negara jika menghasilkan surplus dalam bentuk emas dan perak. Keseimbangan perdagangan hanyalah perbedaan antara apa yang di ekspor dan apa yang di impor. Ketika negara mengalami surplus perdagangan, ini berarti ekspor lebih besar daripada impor. Lebih lanjut Thomas Mun menjelaskan bahwa perdagangan domestik tidak dapat membuat negara lebih makmur, karena perolehan logam mulia dari seorang warga negara adalah sama dengan hilangnya logam mulia dari warga negara yang lain. Dengan meningkatkan persedian uang domestik sebagai hasil dari surplus perdagangan ternyata dapat juga memunculkan bahaya karena orang akan terpancing untuk membeli lebih banyak barang-barang mewah. Hal ini menyebabkan harga barang dalam negeri akan naik dan pada akhirnya akan mengurangi ekspor karena barang-barang yang diproduksi  di dalam negeri akan terlalu mahal bila dijual di luar negeri. Konsekuensi ini bisa dihindari yaitu dengan melakukan investasi kembali. Reinvestasi ini akan menciptakan lebih banyak barang untuk diekspor. Thomas Mun mengakui bahwa betapa pentingnya investasi modal dan Ia memandang keseimbangan perdagangan merupakan sebuah cara untuk mengumpulkan modal produktif.
Ajaran merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal periode modern (dari abad ke-15 sampai ke-18, era dimana kesadaran bernegara sudah mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama kalinya, intervensi suatu negara dalam mengatur perekonomiannya yang akhirnya pada zaman ini pula sistem kapitalisme mulai lahir. Kebutuhan akan pasar yang diajarkan oleh teori merkantilisme akhirnya mendorong terjadinya banyak peperangan dikalangan negara Eropa dan era imperialisme Eropa akhirnya dimulai. Sistem ekonomi merkantilisme mulai menghilang pada akhir abad ke-18, seiring dengan munculnya teori ekonomi baru yang diajukan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations, ketika sistem ekonomi baru diadopsi oleh Inggris, yang notabene saat itu adalah negara industri terbesar di dunia.[6]
Ø  Kolonialisme
Merkantilis merupakan model kebijakan ekonomi dengan campur tangan pemerintah yang dominan, proteksionisme serta politik kolonial, ditujukan dengan neraca perdagangan luar negeri yang menguntungkan. Kebijakan ekonomi lebih bersifat makro, hal ini berhubungan dengan tujuan proteksi industri di dalam negeri, dan menjaga rencana perdagangan yang menguntungkan, hal ini dilakukan dalam usaha meningkatkan peranannya dalam perdagangan internasional dan perluasan-perluasan kolonialisme, yang mana Kolonialisme sendiri merupakan suatu sistem dimana suatu negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih tetap berhubungan dengan negeri asal dan tujuannya untuk menguras sumber-sumber kekayaan daerah koloni demi perkembangan industri dan memenuhi kekayaan negara yang melaksanakan politik kolonial tersebut. Pada zaman kolonialisme ini akumulasi modal yang terkonsentrasi di Eropa (Inggris) didistribusikan ke penjuru dunia, yang menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.[7]
Kelahiran kapitalisme dimasa merkantilisme dan kolonialisme dibidani oleh tiga tokoh besar, yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya. Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik adalah seorang Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima kenyataan praktik pengampunan dosa yang diberlakukan Gereja Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya dan semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja mereka dapat menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”. Sedangkan bagi Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan “Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya dan tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan spirit kapitalismenya dalam sebuah konsep sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya adalah laissez-faire, laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka akan menyebabkan harga barang tersebut menjadi mahal sehingga menjadi sulit didapatkan terutama oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Tetapi menurut Smith bahwa yang harus dilihat adalah perilaku produsen. Ketika harga barang mahal, maka keuntungan akan meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang tersebut tinggi, maka banyak produsen yang memproduksinya. Sehingga dengan demikian kelangkaan barang tersebut akan terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Sehingga masalah yang terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh the invisible hands.
2.      Kapitalisme Klasik
Ø  Revolusi Industri
Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya perdagangan publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Pada masa Revolusi Industri yaitu merupakan perubahan radiakal struktur masyarakat agraris ke industri serta perubahan penggunaan sarana produksi dari tenaga manusia ke tenaga mesin. Transformasi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri yang seperti itu merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris. Perubahan dalam cara menentukan pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi berhasil memindahkan industri dari pedesaan ke sentra-sentra perdagangan lama di perkotaan selama Revolusi Industri. Akumulasi kapital yang terus menerus membengkak selama dua atau tiga abad mulai menunjukkan hasil yang baik pada abad 18. Penerapan praktis dari ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh selama berabad-abad dapat sedikit demi sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi penggerak bagi perubahan teknologi karena akumulasi modal memungkinkan penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada fase ini kapitalisme mulai meletakkan dasarnya yaitu laissez-faire, laissez-passer sebagai doktrin mutlak Adam Smith. Dillar menerangkan bahwa perkembangan kapitalisme pada fase kedua ini semata-mata menggunakan argumentasi ekonomis. Perkembangan ini tentu saja menjadi parameter keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur sosial masyarakat. Kesuksesan ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang politik, yaitu hubungan antara kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan kapitalisme terutama dalam penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan daerah kekuasaan sebagai lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik erat kaitannya dengan karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations (1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa kapitalisme kuno sudah berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.
3.      Kapitalisme Lanjut
Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad 19, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Abad 20 ditandai oleh perkembangan kapitalisme yang sudah tidak lagi bisa disebut sebagai kapitalisme tradisional. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum. Pertama, pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Dari sana kemudian muncul ideologi tandingan, yaitu komunisme.
Kapitalisme abad 20 berhasil tampil meliuk-liuk dengan performance yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan umat manusia pada zaman dan situasi lingkungannya.[8] Fleksibilitas ini sukses membawa kapitalisme sebagai akhir ideologi (The End of Ideology) yang mengantarkan umat manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona ekstasi melainkan juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat manusia. Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut adalah sedemikian menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi sudah tidak lagi bergerak di bidang industri manufaktur, melainkan jasa dan informasi. Ia berusaha mendominasi dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta orientasi menghadapi ekonomi global. Ia lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational Corporation/Trans National Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa pelaku aktifitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara, melainkan para pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi apa dan di mana saja.
Dengan semakin pentingnya modal, peranan Negara menjadi tereduksi, tapi juga hilang sama sekali. Negara hanya sekedar menjadi aktor pelengkap (Complement Actor) saja dalam percaturan ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran Negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendukung roda ekonomi yang sedang diputar kapitalis. Inilah yang dinubuat Galbraith dengan mengatakan bahwa korporasi modern menerapkan kekuasaan melalui pemerintahan. Para kapitalis ini tetap membutuhkan keterlibatan Negara untuk memfasilitasi setiap produk yang dipasarkan. Hubungan simbiosis mutualisme ini selanjutnya menjadi karakter dasar dari kapitalisme lanjut. Peristiwa ini menyebabkan para pakar menyebut bahwa kapitalisme lanjut adalah kapitalisme monopoli atau kapitalisme kroni (crony capitalism).[9]
Sementara menurut pandangan Clauss Offe dalam Habermas, sejauh kegiatan Negara diarahkan pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, politik selalu menampilkan sifat negatif yang khas. Politik diarahkan untuk mengatasi disfungsionalitas dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan sistem. Politik tidak diupayakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan pada pemecahan masalah-masalah teknis. Kegiatan Negara dibatasi hanya pada persoalan-persoalan teknis yang bisa dipecahkan secara administratif sehingga dimensi praksisnya hilang.[10] Hubungan faktor politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi adalah cara pandang Keynes, dan persoalan itu susah untuk dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada keseluruhan adegan sosial dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia memandang teori ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan apa yang disebut metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk melayani tujuan dan target mental, dan untuk itu ia membuat ilmu ekonomi menjadi persoalan politik dengan cara yang berbeda.
Akumulasi modal sekarang tidak sekedar menjadi kebiasaan. Ia telah menjadi sebuah hukum, di balik nuansa ini, tersimpan keniscayaan akan adanya alienasi bagi mereka, para kelompok mayoritas seperti buruh, petani dan perempuan. Kita menyadari bahwa kapitalisme model baru menyimpan keniscayaan atas penindasan kelompok mayoritas. Segitiga konspirasi ala O’Donnel sampai hari ini masih relevan dalam menjelaskan mekanisme ketertindasan struktural rakyat. Secara empiris konspirasi itu dapat dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan Negara terbentuk atas pengaruh kepentingan TNC. Tiga pilar neo klasik, TNC/MNC, World Bank/IMF, dan WTO berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang sama, yakni liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu adalah kekuatan terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah menemukan kebijakan internasional yang tanpa memuat kepentingan ketiganya. Kita memang bisa menyadari bahwa kapitalisme lanjut tidak hanya dipahami sesederhana itu. Jika hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme diserangkan oleh kelompok Marx dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat ini kita juga menyaksikan bagaimana kapitalisme menghadapinya dengan dada terbuka. Cita-cita Marx yang tertuang dalam kata-kata msayarakat tanpa kelas, justru secara mengejutkan, bukan terjadi dalam masyarakat komunisme, melainkan dalam masyarakat kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang mencoba mengagregasikan kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan dengan Negara, justru pada akhirnya mampu menciptakan masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat kapitalisme, dalam kaitannya dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan mengupayakan reinventing government, bukan barang mustahil apabila masyarakat tanpa kelas adalah milik kapitalisme, bukan komunisme. Masyarakat tanpa kelas ternyata gagal dipraktekkan oleh komunisme. Barangkali inilah yang disebut sebagai akhir sejarah itu, threshold capitalism.
Ø  Developmentalisme
Globalisasi kegiatan ekonomi dan persoalan pengelolaannya sering dianggap baru muncul setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa munculnya perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya perdagangan internasional. Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton Woods ditinggalkan pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat berharga internasional dan pemberian kredit oleh bank mulai berkembang dengan cepat, seiring dengan meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang menambah rumit hubungan ekonomi internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dunia yang terintegrasi dan saling tergantung.
Pada fase pasca PD II, strategi ekonomi politik yang dilancarkan oleh AS dan para sekutunya adalah strategi Developmentalisme yang arinya paham akan pembangunan[11], untuk mengamankan investasi modalnya, kapitalisme internasional memberikan dukungan bagi orang-orang kuat di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal dari jajaran militernya. Di Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang dipimpin oleh militer (otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai regime otoriter yang kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini adalah anak emas yang dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan investasi modal. Pada fase ini (1960-1970-an) dekolonialisasi ditawarkan pada sejumlah Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia, Afrika dan Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin.[12] Akhirnya, globalisasi adalah bentuk baru hegemoni ekonomi, legitimasi baru terhadap pasar, kompetisi dan profit. Setelah dekolonisasi dan runtuhnya blok sosialis, globalisasi menjadi bentuk baru hegemoni atas nama pasar bebas, revolusi informasi, dunia sebagai satu dunia dan lain sebagainya. Akhir sejarah juga merupakan legitimasi baru kapitalisme setelah runtuhnya komunisme, seolah-olah sejarah berhenti dan waktunya habis. Revolusi informasi merupakan dalih baru untuk menyatukan dunia atas nama tekhnologi komunikasi baru, dunia sebagai satu desa dan hukum pasar.[13]
Ø  Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dalam saling keterhubungan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Paham yang demikian itu disebut globalisasi atau neo-liberalisme. Beberapa faktor pendorong globalisasi yaitu: Pertama, kekuatan kaum kapitalis internasional, yaitu Negara-negara imperialis pusat, Negara menjadi motor penggerak globalisasi karena ia memiliki kekuasaan dalam mengatur formulasi strategis globalisasi, alokasi sumber daya ekonomi pada aktor-aktor global termasuk MNC. MNC yang mampu beroperasi hampir di seluruh dunia, dan merupakan sumber kekuatan dari globalisasi itu sendiri dikemudian hari yang pada akhirnya peran MNC dalam dinamika globalisasi ini begitu kuatnya seolah-olah MNC telah menjadi parasit yang memakan induk semangnya dan menjadi lebih kuat dan lebih besar. Kekuatannya ini didukung oleh Bretton Woods Institution, yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan pada tiga sistem yaitu liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya di bidang telekomunikasi. Ketiga, dukungan pemerintah Negara-negara sedang berkembang (NSB) terhadap ekspansi kaum kapitalis internasional di Negara mereka.
Dampak perkembangan konstelasi politik-ekonomi internasional adalah efek globalisasi yang telah masuk ke segala sendi kehidupan manusia di dunia internasional. Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan telah timbul berbagai masalah. Ternyata perkembangan ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar antara Negara kaya dan miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan internasional, dan masalah perkembangan indigeneous technology di dunia ketiga.[14] Jelaslah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, dinamik yang menguasai jurusan-jurusan pertumbuhannya serta pilihan-pilihan masalahnya seperti juga tekhnologi, tidak berdiri sendiri, merupakan bagian dari sistem sosial, lengkap dengan tujuan-tujuan, kepentingan, prioritas, serta sistem nilainya. Oleh karena itu pilihan tekhnologi tidak boleh diambil hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mengenai implikasi sosialnya.
Dalam hal ini ilmu pengetahuan dalam bidang tekhnologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan krisis di masyarakat kapitalisme. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang masyarakat kapitalisme, penulis paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara, globalisasi dan logika neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah ideologi sebagai dampak dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem sosial. Globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni perusahaan-perusahaan transnasional (TNC, Trans-National Corporations) dan Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO, Organisasi Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada dasarnya tidak ada bedanya dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka percaya bahwa ‘pasar bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah, berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produksinya mulai langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa neo-liberalisme tidak ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi. “Serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan mereka. Keputusan individual atas interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari invisible hand (tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang tersebut pada akhirnya akan trickle down (menetes ke bawah) kepada anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki. Krisis berkepanjangan yang menimpa kapitalisme awal abad 19, yang berdampak depresi ekonomi 1930-an berakibat tenggelamnya paham liberalisme. Pendulum beralih memperbesar pemerintah sejak Roosevelt dengan “New Deal” tahun 1935. Tetapi dalam perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20 pertumbuhan dan akumulasi kapital menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan hak milik intelektual, good governance (pemerintahan yang baik), penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society, program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan suatu tatanan perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dengan demikian globalisasi pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neo-liberalisme. Neo-liberalisme sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan dan keuangan”, “Biarkan pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi, Stabilisasi ekonomi-makro, dan privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan”. Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus” yang dipaksakan yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu tata dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para pembela ekonomi swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok pendirian neo-liberal meliputi, pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan subsidi Negara kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Negara harus melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara, karena perusahaan Negara dibuat untuk melaksanakan subsidi Negara pada rakyat. Ini juga menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional” karena menghalangi pertumbuhan. Serahkan manajemen sumberdaya alam kepada ahlinya, bukan kepada masyarakat “tradisional” (sebutan bagi masyarakat adaptif) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien dan efektif.
“Aku rela bekerja keras, bahkan aku rela sampai mati,
tapi tidak untuk orang-orang yang serakah”
~The new rullers of the world~

[1] Materi ini disampaikan dalam Prakondisi PETA II SMI Cab. Semarang Pada tanggal 15 Pebruari 2014 di Semarang
[2] Pemateri Prakondisi PETA II SMI Cab. Semarang Pada tanggal 15 Pebruari 2014 di Semarang
[3] Definisi secara sederhana, corak produksi adalah cara masyarakat manusia, pada umumnya, dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan di suatu tempat dan pada suatu waktu. Misalnya, cara memenuhi kebutuhan makan dan pakaian pada masyarakat kuno berbeda dengan masyarakat sekarang ini. Dalam kata lain, corak produksi adalah cara masyarakat manusia memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan sosial yang dibuatnya.
[4] Samekto Adji, Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan, Genta Press, Yogyakarta, 2008
[5] Lihat teori Merkantilisme, Thomas Mun
[6] Lihat teori Merkantilisme http://id.wikipedia.org/wiki/Merkantilisme (online)

[7] Galery Artikel, Kolonialisme, Imperialisme, Merkantilisme, Kapitalisme, Dan Revolusi Industri, http://networkedblogs.com/wju1l  (online)

[8] Penjelasan ini sekaligus mengawali kajian tentang Kapitalisme fase lanjut atau kapitalisme mutakhir seperti yang diratapi oleh Daniel Bell. Beberapa kajian dalam poin ini sepenuhnya mengacu ke sana. Untuk memperjelas keterangan ini periksa karya Bell seperti (1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The Coming of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3) The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976. Sedangkan untuk edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di Y.B. Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985; atau Daniel Bell dan Irving Kristol (ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1988.
[9] Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari kapitalisme fase lanjut seringkali diberi pengertian yang merujuk pada peran penting dari kolaborasi di tingkat birokrat Negara dan pengusaha kapitalis untuk menguasai lahan produksi yang ditujukan pada kepentingan-kepentingan publik.
[10] Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990
[11] Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi pembangunanisme. Developmen-talisme adalah sebuah istilah ekonomi-politik. Sebuah konsep atau kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dicetuskan pada masa Presiden Harry S Truman pada tahun 1949 untuk menjawab berbagai permasalahan kemiskinan atau keterbelakangan (Underdevelopment) yang terjadi di Negara-negara dunia ketiga, sekaligus sebagai alat ideologi untuk membendung sosialisme.
[12] Fase di mana dekolonisasi ditawarkan bagi dunia ketiga dan terjadi proses eksploitasi kapitalisme dari yang bersifat kolonilistik kepada fase yang bersifat lunak
[13] Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global: Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar Peradaban, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003
[14] Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1984

0 komentar:

Posting Komentar